DPR Minta Pemerintah Batalkan Wacana Pembentukan Holding BUMN Migas

OBROLANBISNIS.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta pemerintah untuk membatalkan wacana pembentukan induk Badan Usaha Milik Negara Minyak dan Gas Bumi (holding BUMN Migas) menyusul laba PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk alias PGN yang terus turun dalam lima tahun terakhir. 

Pada 2012 lalu, PGN mencatatkan pendapatan US$ 2,58 miliar dengan laba bersih US$ 915 juta. Sementara tahun lalu, PGN membukukan pendapatan US$ 2,16 miliar sedangkan laba bersih hanya terkumpul sebesar US$ 98 juta.

Bacaan Lainnya

DPR khawatir, peleburan PGN dengan PT Pertamina Gas (Pertagas), justru akan mengganggu kinerja dari PT Pertamina (Persero) sebagai holding BUMN Migas.

Analis Binaartha Parama Sekuritas Reza Priyambada berpendapat, menurunnya laba bersih PGN bukan karena ketidakmampuan manajemen dalam menjalankan perusahaan. Namun merupakan imbas dari kebijakan pemerintah yang mengatur harga gas industri melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.

Pasal 3 peraturan yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 3 Mei 2016 tersebut menitahkan, harga gas bumi ditetapkan tidak lebih dari US$ 6 per MMBTU. Namun, jika harga gas bumi tidak dapat memenuhi keekonomian industri dan lebih tinggi dari US$ 6 per MMBTU, perusahaan distributor gas bumi seperti PGN juga harus menunggu penetapan harga tertinggi dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Memang yang menjadi kendala PGN adalah saat pemerintah mematok harga jual gas kepada industri dengan tujuan agar lebih murah. Akibatnya pendapatan dan laba PGN menjadi terbatas, sementara PGN dihadapkan pada biaya operasional yang cukup tinggi,” kata Reza saat dihubungi, Senin (19/3/2018).

Kebijakan pemerintah menurut Reza merupakan faktor eksternal yang bisa menekan kinerja perusahaan berkode saham PGAS tersebut. Sebagai perusahaan pelat merah, Reza menilai sudah menjadi risiko manajemen PGN untuk bersedia menjalankan penugasan yang diamanatkan pemegang saham mayoritas yaitu pemerintah, meskipun hal tersebut mengganggu kinerjanya.

“Penugasan pemerintah sudah risiko. Namun, pelaku pasar hanya melihatnya dari sisi mampu atau tidaknya PGN memperoleh laba terlepas dari masalah yang dihadapi. Kalau labanya turun, mereka langsung mengasumsikan jelek. Padahal kan kinerjanya turun karena penugasan dari pemerintah. Kalau tidak ada penugasan, mereka pasti memperoleh laba,” jelasnya.

Faktor Eksternal

Selama lima tahun terakhir, bukan hanya penetapan harga gas industri oleh pemerintah saja yang menekan keuangan PGN. Kebijakan penetapan bauran energi dalam megaproyek pembangkit listrik 35 ribu Megawatt (MW) juga banyak meleset dari perkiraan. PGN juga bersedia menurunkan harga gas untuk keperluan pembangkit listrik sampai 12 persen.

Selain itu, PGN juga banyak mendukung program pemerintah untuk kepentingan nasional, diantaranya menurunkan harga gas industri di Medan, Surabaya, Cirebon dan beberapa kawasan industri lainnya.

Tahun lalu, PGN juga mampu menambah 114 pelanggan industri, di saat perusahaan hilir gas bumi lain mengeluhkan pasar gas sudah jenuh; serta menjalankan penugasan pemerintah membangun 26 ribu jaringan gas untuk pelanggan rumah tangga di Lampung, Musi Banyuasin, Mojokerto, dan Rusun Kemayoran Jakarta.

“Pelaku pasar harusnya bisa membedakan antara emiten rugi atau yang labanya turun. Kalau hanya laba yang turun, sebenarnya perusahaan tersebut masih bagus karena bisa bertahan dengan margin yang dia peroleh.

Seperti PGN ini kan masih laba, tapi memang pertumbuhannya turun. Jadi bukan berarti PGN jelek, karena turunnya laba akibat harga jual gasnya dipatok oleh pemerintah,” kata Reza.

Prospek PGAS

Sebagai analis pasar modal, Reza meminta pelaku pasar tidak terpengaruh faktor eksternal yang mengganggu kinerja suatu emiten. Namun lebih melihat fundamental perusahaan sebelum memutuskan untuk berinvestasi pada saham perusahaan itu.

Ia berpendapat, PGN memiliki prospek kinerja yang cerah ke depan. Mengingat pemerintah telah menetapkan agar gas yang menjadi dagangan utama perusahaan, menjadi energi utama pertumbuhan industri menggantikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Dengan demikian, maka permintaan gas ke depan akan terus meningkat.

“Saya melihat ke depannya pemakaian batubara dan BBM akan berkurang, karena pelaku industri terus mencari energi alternatif yang murah dan bersih yang bisa diperoleh dengan menggunakan gas,” katanya.

Manajemen PGN juga menurutnya terus melakukan diversifikasi bisnis dengan membentuk PT Saka Energi Indonesia sebagai anak usaha di sektor hulu migas.

“Saka ini merupakan pengembangan bisnis dari PGN yang tidak mau hanya bergantung berjualan gas dari pipa transmisi dan distribusi. Suatu saat dia akan menopang pendapatan dari PGN, saat ini mereka banyak investasi lebih dulu,” kata Reza. [rel/OB1]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *