Catatan: Dr Farid Wajdi SH MHum
Data dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Medan dari 2.500 lebih restoran yang ada di Kota Medan, baik restoran kecil, sedang dan besar, ternyata baru 5% saja yang bersertifikat halal.
Banyak produk berlabel halal palsu berkeliaran di tengah masyarakat. Banyak rumah makan, restoran dan kafe atau produk makanan/minuman mengklaim produknya halal tetapi tidak memiliki sertifikat halal.
Banyak usaha kecil menengah (UKM), restoran, dan pengusaha katering mencantumkan label halal padahal tidak mengikuti prosedur memperoleh sertifikat halal dari LPPOM MUI.
Produk tersebut hanya bertuliskan label halal tanpa ada sertifikat dari MUI. Padahal, sertifikat halal asli hanya dikeluarkan MUI. Produk halal bodong juga tersebar luas di kantin-kantin kampus.
Bentuknya pun beragam, mulai roti, kue basah, kue kering, minuman berwarna, kopi, hingga susu. Tapi, banyak orang yang tidak sadar dan tidak memperhatikan keberadaan logo halal tersebut.
Kasus label halal palsu banyak ditemukan pada pelaku usaha kecil dan mikro tidak bisa menyebutkan angka pasti produk yang menggunakan label halal palsu.
Dalam beberapa kasus maraknya peredaran label halal palsu disebabkan kurangnya pengetahuan dari pengusaha, meski tindakan tersebut salah. Selain itu, pengusaha tidak siap untuk melalui tahapan memperoleh sertifikat halal, seperti kesiapan dokumen hingga produksinya. Dampaknya, mereka tak lolos saat audit.
Sanksi Pidana dan Wajib
Untuk kepastian hukum dan informasi masalah biaya seharusnya bukan menjadi kendala. Pemerintah harus memfasilitasi biaya sertifikasi halal, khususnya untuk UKM.
Kepemilikan sertifikat halal tergantung kesiapan pengusaha dalam menyiapkan dokumen yang dibutuhkan. Jika pengusaha siap maka proses memperoleh sertifikat halal akan cepat diselesaikan.
Pelaku usaha harus diberi pemahaman urgensi sertifikat dan label halal. apa itu halal dan bagaimana proses sertifikasinya.
Selain itu, pengusaha harus paham mencantumkan logo halal yang tidak sesuai aturan dapat dijatuhi sanksi pidana. Berkaitan dengan label halal itu, Pasal 8 ayat (1) huruf a UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: “tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label”.
Pasal 4 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal: “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal”.
Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan menyebutkan: “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label.”
Norma hukum sertifikasi halal adalah bersifat wajib, bukan sukarela, jika ada klaim halal pada produknya.
Sertifikat Halal Dipajang
Di lapangan ada beberapa pemilik restoran yang memasang label halal meski belum melakukan sertifikasi halal. Pemasangan label halal itu ada yang memang tidak tahu atau tidak mau tahu dan ada pula yang pura-pura tidak tahu.
Temuan di lapangan pelaku usaha kompak, jika ditanya soal sertifikat halal umumnya penanggung jawab resto mengatakan punya sertifikat halal, tetapi ketika ditanya nomor sertifikatnyanya mereka berkilah sertifikatnya ada di kantor pusat atau beralasan sertifikat halalnya sedang diproses.
Di pasaran terungkap adanya beberapa resto dan gerai makanan/minuman yang memajang sertifikat halal untuk beberapa jenis makanan saja.
Misalnya ada gerai menjual enam jenis makanan tetapi yang bersertifikat halal hanya dua jenis makanan. Jika konsumen tidak jeli membaca sertifikat tersebut maka seakan-akan semua jenis makanan di tempat itu sudah bersertifikat halal.
Oleh itu, kepada konsumen lihatlah Sertifikat Halal MUI dengan baik dan teliti, biasanya dipajang di dekat kasir. Di samping itu perlu mengimbau kepada konsumen agar rajin bertanya kepada pihak restoran apakah makanan yang akan disajikan halal atau tidak.
Dengan cara itu, produsen mau menyertifikasi halal produk mereka. Konsumen Muslim yang jumlahnya terbesar di Indonesia harus sadar halal. Bila konsumen muslim hanya mau mengonsumsi barang-barang halal, maka pelaku usaha pun akan terdorong untuk mengurus sertifikat dan label. (Direktur Lembaga Advokasi & Perlindungan Konsumen – LAPK)