EKONOM asal Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Agus Tony Poputra mengatakan, penguatan rupiah sifatnya hanya sementara.
Ini disebabkan, pelemahan ekonomi Amerika Serikat. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat memang belum sesuai dengan harapan. Dampak kondisi ini, sifatnya sangat sementara terhadap penguatan rupiah.
“Sebab, ketika ekonomi AS tumbuh sesuai harapan, maka rupiah bisa saja tertekan kembali,” kata Agus, (8/10/2015).
Faktor kedua, katanya, sentimen positif pasar terhadap rencana Paket Kebijakan Ekonomi Jilid III. Bergulirnya tiga paket kebijakan berturut-turut baik untuk untuk menguatkan Rupiah dan telah terbukti.
Namun, katanya, bilamana pemerintah terlalu jor-joran dalam merilis paket kebijakan ekonomi untuk mengendalikan rupiah, pemerintah akan cepat kehabisan peluru.
Agus mengkhawatirkan, paket-paket kebijakan ekonomi tersebut lebih memanjalan investor asing. Maka, dalam jangka panjang perekonomian Indonesia bisa semakin terjajah, mereduksi kemandirian ekonomi bangsa.
Faktor ketiga, intervensi Bank Indonesia di pasar spot valas. Intervensi ini cenderung merupakan tindakan reaktif, bukannya preventif. “Ini membuat Bank Indonesia terpaksa mengeluarkan cadangan devisa ekstra untuk menahan laju pelemahan rupiah bila pasar valas bergejolak. Akibatnya cadangan devisa Bank Indonesia dapat tergerus lebih jauh,” papar Agus.
Pada dasarnya, kata Agus, pengendalian rupiah yang efektif adalah kebijakan preventif. Baik dari sisi penawaran maupun permintaan di pasar valas.
Saat ini, Indonesia mengalami penurunan penawaran valas terutama US$, sebagai akibat penurunan ekspor dan semakin banyak dana hasil ekspor (DHE) yang ‘diparkir’ di luar negeri. (inl/OB1)