OMBUDSMAN RI akan berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pihak penegak hukum lainnya terkait adanya pungutan liar (pungli) dalam proses dwelling time di Pelabuhan Belawan yang dikelola PT Pelindo I.
Hal itu disampaikan Ketua Ombudsman RI, Danang Girindrawardana pada acara Rapat Monitoring Rekomendasi Ombudsman RI dan Kelancaran Arus Barang di Pelabuhan Belawan dengan PT Pelindo I di Kantor Pelindo I, Medan, (28/1/2016).
Pada kesempatan itu, Danang didampingi Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumatra Utara Abyadi Siregar dan Asisten Ombudsman M Syahputra Malik serta Asisten Ombudsman Sumut Ricky Hutahaean.
Danang menuturkan, pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari rekomendasi Ombudsman RI tahun 2014 tentang perbaikan tata kelola pelabuhan atau dwelling time.
Dari rapat tersebut dalam menyikapi keluhan para pengusaha eksportir importir sebelumnya diterima, Ombudsman menemukan adanya miss komunikasi antara PT Pelindo I dengan para pengusaha, terkait kebijakan yang dikeluarkan BUMN tersebut.
Diantaranya kebijakan sepihak melalui surat edaran yang dikeluarkan Pelindo I, tentang pemberlakukan biaya pelayanan tambahan (biaya adminsitrasi nota, biaya administrasi IT system dan biaya After Closing Time/Direct Loading) di Belawan International Container Terminal. Biaya administrasi nota dikenakan Rp25.000/nota, biaya administrasi IT system Rp25.000/nota dan biaya After Closing Time/Direct Loading Rp750.000/box.
“Kebijakan-kebijakan atau aturan yang menimbulkan biaya tinggi termasuk biaya administrasi, IT, itu kan sebenarnya bisa dianggap sebagai suatu investasi dari pemerintah, dan mestinya tidak menjadi bagian yang memberatkan pengusaha. Karena cost dari operating untuk itu kan cuma additional incmone bagi BUMN, bukan main income, kenapa harus diimpelementasikan,” tegas Danang.
Danang menambahkan, ada aturan dari Kementerian Perhubungan yang diterjemahkan secara berbeda di masing-masing pelabuhan di Indonesia, tidak ada standar yang jelas.
“Inilah yang mau kita koordinasikan dengan KPK dan pihak kepolisian. Apakah kebijakan-kebijakan seperti itu dibenarkan. Karena pada intinya, kalau kita ingin membantu pemerintah mereduksi cost, maka bagian-bagian kecil itu yang harus dibenahi,” imbuh Danang.
Danang melanjutkan, cost lain yang memberatkan pengusaha termasuk tarif penumpukan dari dermaga ke kapal dan dari kapal ke dermaga, dinilai terlalu tinggi bila dibandingkan pelabuhan lain, Tanjung Priok misalnya.
Di Belawan lebih mahal satu setengah kali dari Jakarta, yakni tarif untuk 20 feet contaeiner per hari Rp37.500 sedangkan di Tanjung Priok Rp27.500. Kalangan pengusaha bahwa kebijakan Pelindo I dalam merumuskan tarif-tarif tidak transparan dan tidak melibatkan asosiasi yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, Ombudsman RI meminta PT Pelindo I memverifikasi stakeholder yang akan diundang untuk merumuskan biaya-biaya tersebut, terutama stakeholder yang terdampak atas kebijakan itu.
“Stakeholder itu ada tiga, stakeholder terkait, stakeholder terpengaruh dan stakeholder terdampak, ini yang harus menjadi bagian dari perumusan tarif,” tegasnya.
Selain itu, Ombudsman juga menyoroti pungli-pungli terhadap supir truk dari dan menuju pelabuhan. Ombudsman berharap ada perbaikan-perbaikan frontal yang dilakukan Pelindo I dan kepolisian supaya tidak terjadi lagi pungli-punli di areal pelabuhan atau pungli terhadap supir-supir truk yang keluar atau menuju pelabuhan.
Pihaknya belum melihat upaya serius dari pihak penegak hukum untuk berkoordinasi dengan pelabuhan untuk mengamankan atau mencegah hal itu terjadi.
Menurut Danang, Ombudsman akan mengeluarkan teguran kepada masing-masing Pelindo yang kurang arif dilakukan dalam rangka menunjang upaya penurunan dwelling time, termasuk mengeluarkan surat teguran kepada menteri perhubungan agar kebijakan-kebijakan yang menimbulkan beban biaya baru itu diperbaiki. (rel/OB1)