KEMENTERIAN Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) mencatat, Indonesia baru memiliki 35 ribu lebih tenaga insinyur. Jumlah tersebut masih relatif kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan pembangunan yang sedang berkembang di tanah air.
Padahal, di Indonesia bertumbuh setiap tahunnya Perguruan Tinggi (PT), baik yang Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) untuk menelurkan banyak insinyur baru.
“Kondisi ini sama sekali tidak bisa diremehkan, sebab akan membuat celah bagi masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia seiiring diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA),” kata Direktur Eksekutif Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Ir Faizal Safa MSc, kemarin, di kampus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan.
Diakuinya, lowongnya posisi tenaga kerja insinyur yang begitu besar salah satunya diduga karena lulusan insinyur bekerja di luar bidangnya akibat ketidakmampuan mereka dalam bersaing di dunia kerja yang begitu luas dan sangat ketat, serta beralih ke bidang yang bukan merupakan keahliannya.
Menurutnya, salah satu solusinya adalah perguruan tinggi harus mampu menciptakan lulusan insinyur yang bisa bersaing di dunia kerja, tidak hanya tenaga kerja lokal namun juga tenaga kerja asing. Selain itu meningkatkan inovasi pada penelitian, sehingga mampu meningkatkan daya saing.
“Kita khawatir kekurangan ini akan diambil alih oleh para pekerja asing yang kualitasnya mungkin juga tidak jauh beda dengan pekerja orang Indonesia,” ungkapnya.
Pada kuliah umum yang dihadiri para mahasiswa dari 14 PTN dan PTS di Sumut seperti mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU), UMSU, Unimed, Undhar dan lainnya itu, Faizal menyebut PII berkomitmen agar insinyur profesional menjadikan insinyur berkelas dunia.
Diungkapkannya, pada 2015, kebutuhan insinyur sebanyak 65.483 orang tapi ketersediaan hanya 35 ribu-an. Sedangkan pada 2016 kebutuhannya bertambah menjadi 107.690 orang.