OBROLANBISNIS.COM – Dunia saat ini telah memasuki era revolusi industri keempat yang ditandai oleh meleburnya garis batasan yang sebelumnya memisahkan dunia digital, fisik dan biologi.
Sama seperti yang terjadi pada revolusi industri sebelumnya, revolusi industri keempat ini dilandasi oleh teknologi baru yang akan mengubah seluruh rantai produksi dan manajemen di setiap cabang industri di seluruh negara.
Di dalam industri keuangan, kehadiran revolusi industri keempat dapat ditemukan dalam bentuk financial technology (fintech) yang belakangan ini semakin populer dan kerap digunakan oleh kalangan penggiat teknologi dan media.
Jadi, apa itu Fintech?
Walaupun belum memiliki definisi baku, pada dasarnya fintech adalah sebuah segmen dari dunia startup yang memiliki fokus untuk memaksimalkan penggunaan teknologi guna mengubah, mempercepat atau mempertajam berbagai aspek dari layanan keuangan yang tersedia saat ini, mulai dari metode pembayaran, transfer dana, pinjaman, pengumpulan dana, hingga pengelolaan aset.
Berdasarkan studi yang dilakukan Accenture di wilayah Asia Pasifik, nilai investasi ke dalam bidang fintech selama sembilan bulan pertama di tahun 2015 sudah mencapai USD 3,5 miliar atau hampir empat kali lebih besar dari angka USD 880 juta yang tercatat sepanjang tahun 2014.
Di Indonesia sendiri, situs DailySocial mencatat fintech sebagai kategori kedua terpopuler setelah e-commerce berdasarkan jumlah startup yang menerima pendanaan secara umum sepanjang 2015.
Lalu, mengapa Fintech menjadi sangat populer?
Fintech memiliki potensi untuk menguntungkan berbagai pihak yang bergerak di dalam industri keuangan. Di negara berkembang seperti Indonesia, dengan tingkat penetrasi keuangan 35,8% (World Bank, 2014), fintech dapat mengambil peran guna mempercepat perluasan jangkauan layanan keuangan.
Selain itu, fintech juga menciptakan solusi dalam menekan biaya dan waktu penyediaan layanan keuangan yang sebelumnya harus ditanggung oleh baik penyedia maupun pengguna layanan.
Apa tantangan terbesar yang dihadapi Fintech di Indonesia saat ini?
“Tantangan, dan juga peluang, terbesar industri fintech di Indonesia saat ini adalah untuk memperkenalkan sebuah teknologi layanan keuangan bersifat agnostis dan inklusif yang dapat digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat,” jelas Brata Rafly, CEO Dimo Pay Indonesia (Dimo), sebuah perusahaan startup yang bergerak dalam bidang mobile payment.
“Semakin eksklusif, semakin terpisah-pisah, semakin sulit bertumbuh, dan semakin kecil kemungkinan teknologi tersebut untuk diadopsi secara masal.”
Dimo sendiri memiliki fokus untuk menghadirkan pengalaman transaksi keuangan melalui teknologi Quick Response (QR) Code. Berbeda dengan layanan pembayaran lain, konsep Pay by QR yang dikedepankan Dimo bersifat inklusif, dimana Dimo menyediakan sebuah “bahasa” yang dapat digunakan oleh sumber dana manapun (bank, telko, e-wallet), pengguna smartphone dengan brand mana pun, dan juga merchant apa pun.
Para merchant dapat melakukan penagihan dengan menampilkan QR Code melalui print out pada mesin Electronic Data Capture (EDC) yang sudah ada, monitor komputer, sticker tempel, maupun langsung pada monitor smartphone.
Dengan meningkatnya angka penetrasi smartphone di Indonesia yang telah melebihi 43% per kuartal pertama 2015 (data dari Google Indonesia), Dimo pun cukup optimis dengan peluang pertumbuhan sistem pembayaran Pay by QR di Indonesia.
“Revolusi industri keempat tidak bisa dihindari oleh cabang industri mana pun, termasuk industri keuangan. Dan saat ini, Dimo dan teman-teman lain yang bergerak di industri fintech memiliki kesempatan emas untuk dapat membawa perubahan dan perbaikan nyata ke dalam industri keuangan Indonesia,” ujar Brata. (rel/OB1)