LAPK: Gubernur harus Tinjau Kenaikan Tarif PDAM Tirtanadi 2017

OBROLANBISNIS.com – Kenaikan tarif air PDAM Tirtanadi banyak mendapat penolakan dari berbagai pihak, termasuk DPRD Sumut dan Ombudman RI yang masing-masing lembaga ini merekomendasikan, agar penetapan tarif air tahun 2017 dibatalkan.

Penetapan tarif air dianggap cacat hukum karena diputuskan tidak melalui mekanisme yang benar sesuai Permendagri No 71 tahun 2016 dan Perda No 10 tahun 2009.

Bacaan Lainnya

Setiap penetapan tarif air harus melalui mekanisme penyerapan aspirasi pelanggan dan/atau harus dilakukan konsultasi dengan DPRD Sumut sebelum keputusan penetapan tarif air ditandatangani Gubernur.

Senada, Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK) sejak awal menolak kenaikan tarif yang dilakukan PDAM Tirtanadi menganggap kebijakan kenaikan tarif harus dibatalkan karena melanggar hukum.

Tentu jika tagihan pelanggan mengalami kenaikan pada bulan Mei dan Juni maka kelebihan tarif merupakan ‘pungutan liar’ (pungli). “Bukan tanpa alasan tagihan yang dilakukan adalah pungli dapat dilihat dari lahirnya kebijakan penyesuaian tarif yang mal-administrasi mulai dari jangka waktu, partisipasi pelanggan/DPRD Sumut hingga aturan yang dilanggar,” ucap Sekretaris Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK), Padian Adi S Siregar dalam siaran persnya yang diterima, Rabu (7/6/2017).

Secara moral, Gubernur dan PDAM Tirtanadi harus menghentikan kenaikan tarif air yang diduga mulai berlaku Mei 2017 yang jelas cacat hukum. Tidak habis pikir, apabila Gubernur sebagai penentu kebijakan penyesuaian tarif air tidak menjalankan rekomendasi Ombudsman dan DPRD Sumut.

Jika rekomendasi kedua lembaga Negara ini ditolak, maka sama artinya Gubernur melakukan pelanggaran hukum baru dengan mengingkari keberadaan lembaga pengawas eksternal yang diamanahkan dan diakui oleh undang-undang.

“Idealnya DPRD Sumut harus menggunakan hak menyatakan pendapat apabila rekomendasi dari Ombudsman dan DPRD Sumut untuk mencabut kebijakan kenaikan tarif tidak dijalankan. Gubernur dan PDAM Tirtanadi tidak boleh ngeyel dan jaga image tidak mau mengakui kesalahan yang dilakukan. Tentu upaya jangan tengah, Gubernur harus meninjau kebijakan dengan melakukan mekanisme sesuai yang dipersyaratkan dalam undang-undang. Jika arogansi Gubernur yang tetap dikedepankan, maka bukan tidak mungkin pelanggaran hukum baru akan dilakukan PDAM Tirtanadi dan tidak menutup kemungkinan pelanggaran pidana,” jelasnya.

Secara aturan baik Undang-Undang No 25 tahun 2019, Permendagri No 71 tahun 2016 maupun Perda No 10 tahun 2009, mekanisme penetapan tarif air harus sistematis dan tidak boleh melompati salah satu tahapan termasuk melakukan konsultasi dengan DPRD Sumut sebelum Gubernur menandatangani SK Penetapan tarif air.

Tentu alasan PDAM Tirtanadi telah melakukan konsultasi dengan DPRD Sumut tidak dapat diterima secara logika hukum. Faktanya konsultasi dilakukan setelah SK Gubernur ditandatangani pada Desember 2016, walaupun sesuai aturan dipersyaratkan paling lambat bulan November setiap tahun.

Apresiasi layak diberikan kepada Komisi C DPRD Sumut dan Ombudsman Sumut karena berani keluar dari tekanan dengan merekomendasikan penghentian atau mencabut kebijakan kenaikan tarif air yang melanggar hukum.

Tentu arogansi PDAM Tirtanadi yang mengabaikan fungsi DPRD Sumut yang berwenang menolak atau menyetujui penyesuaian tarif air, lambat laun akan menimbulkan “masalah baru” bagi PDAM Tirtanadi sendiri.

Idealnya, Gubernur harus berjiwa besar mencabut kebijakan kenaikan tarif air dan jangan terpengaruh dengan upaya melanggar hukum yang didorong PDAM Tirtanadi.

Dalam kaitan upaya perbaikan pelayanan publik yang sedang dilakukan Pemprovsu jangan sampai ternoda dengan tidak dicabutnya SK Gubsu terkait tarif air. (rel/OB)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *