Cerita Eks Dampingan KSPPM dan AMAN: Hanya Buang Waktu, Biaya dan Tenaga

Cerita Eks Dampingan KSPPM dan AMAN: Hanya Buang Waktu, Biaya dan Tenaga

Cerita Eks Dampingan KSPPM dan AMAN: Hanya Buang Waktu, Biaya dan Tenaga | OBROLANBISNIS.com — Salah seorang eks dampingan Kelompok Study dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), berkomentar terhadap konflik tanah adat / tanah ulayat di Sumatera Utara (Sumut).

Pinus Sitanggang yang mengaku sebagai Ketua Kelompok Tani Hutan di Kabupaten Humbahas, pernah ‘berkolaborasi’ dengan LSM / NGO KSPPM dan AMAN untuk memperjuangkan tanah adat / tanah ulayat nenek moyang mereka.

Akan tetapi, perjuangan mereka ‘kandas’ alias tidak menuaikan hasil ketika berhadapan dengan negara atau pemerintah. Sebab, tanah adat yang diperjuangkan tersebut tidak memiliki legalitas sesuai peraturan dan perundangan, hanya sebatas pengakuan sejarah saja.

 

Bacaan Lainnya



Pinus Sitanggang bercerita, tahun 2009 adalah awal mula dirinya membentuk Kelompok Tani Hutan Marsada, Desa Simataniari Kecamatan Parlilitan Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), untuk memperjuangkan tanah ‘warisan’ nenek moyangnya.

Kala itu, KSPPM dan AMAN sebagai LSM yang melakukan pendampingan untuk mempertahankan tanah adat yang dikabarkan dikuasai oleh perusahaan PT Toba Pulp Lestari (TPL), Tbk.

 

INFO BISNIS

• Aktivis Tano Batak Ini Sebut Sengketa Tanah Adat di Natumingka ‘Ditunggangi’ NGO/LSM

Pinus Sitanggang mengungkapkan, isu soal tanah adat memang menjadi fokus KSPPM dan AMAN ketika itu. Hanya dengan mengandalkan bukti dari peninggalan eks tanaman secara turun temurun, petani dan masyarakat diajak untuk melakukan penolakan kehadiran perusahaan yang mengelola Hutan Tanaman Industri (HTI) dalam hal ini TPL, dan berakhir dengan konflik.

Bahkan pada tahun 2016 atas arahan dari KSPPM dan AMAN, Pinus Sitanggang dan kelompok tani yang dibentuknya pernah memberikan sejumlah berkas kepada Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH), namun hasilnya belum dapat dipenuhi.

Kemudian tahun 2018 dipanggil kembali untuk menerima Surat Kepemilikan lahan tanah adat, ternyata itu hanya kabar bohong untuk menyenangkan hati para petani.

 



Kami pernah dipanggil lagi ke Jakarta oleh Kementerian LHK untuk membahas penyelesaian konflik masyarakat mengenai tanah adat. Ada sekitar 5 komunitas petani yang dihadirkan. Namun anehnya pada pertemuan tersebut tidak ada yang membahas tentang permasalahan tanah adat desa kami.

Atas dasar itulah akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari pendampingan KSPPM dan AMAN, karena menurut saya hanya membuang waktu, tenaga dan biaya.

 

INFO BISNIS

• PT TPL Hormati Hak-hak Masyarakat Adat

Dalam perjalanannya, Pinus tersadarkan diri kenapa perusahaan itu berada di kampungnya. Setelah mempelajari keadaan, ternyata perusahaan tersebut berdiri setelah berizin. “Perusahaan itu ada izinnya, kenapa pula kita salahkan,” akunya kepada awak media, baru-baru ini.

Menurutnya, keberadaan KSPPM dan AMAN jangan lagi melakukan provokasi yang merugikan kepada petani dan masyarakat, dengan membawa isu tanah ada yang hasilnya tidak akan pernah selesai dan tuntas.

“Cukuplah saya dan komunitas kami yang merasakan kerugian ini. Jangan sampai ada lagi yang terhasut,” harap Pinus Sitanggang yang juga mengomentari konflik masyarakat Desa Natumingka Kecamatan Bobor, Kabupaten Toba, yang berselisih paham dengan perusahan TPL.

 



“Pada dasarnya prinsip kami para petani adalah dapat menjalani hidup dengan baik dan benar, bukan dengan cara kekerasan dan konflik yang berkepanjangan,” tegas Pius Sitanggang.

Menurutnya, konflik antara masyarakat dan perusahaan tidak akan terjadi, bila tidak diboncengi oleh pihak tertentu yang memiliki kepentingan.

 

INFO BISNIS

• TPL Minta LSM Asing Hormati Penyelesaian Tanah Adat di Indonesia

Pinus berpesan, lebih baik bekerjasama dengan pihak swasta, dalam upaya peningkatan perekonomian para petani dan masyarakat, serta tidak melanggar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

“Sudah dua tahun belakang ini saya dan kelompok tani saling menjalin kerjasama dengan TPL, bantuan pembibitan cabai, kemenyan dan dukungan pertanian selalu diberikan oleh perusahaan dalam bentuk pendampingan dan mitra program pertanian perusahaan. Semua hasil pertanian adalah milik para petani, dan perusahaan tidak pernah mengambil hasilnya, apalagi sampai mengambil tanah milik masyarakat,” katanya. ***

 

Tontonan Untuk Anda

 

Google Translate

 

Ex-KSPPM and AMAN Assistance Stories: Just a Waste of Time, Cost and Energy | OBROLANBISNIS.com — One of the former assistants of the Study Group and Community Initiative Development (KSPPM) and the Alliance of Indigenous Peoples of the Archipelago (AMAN), commented on the customary land/ulayat land conflict in North Sumatra (Sumut).

Pinus Sitanggang, who claims to be the Head of the Forest Farmers Group in Humbahas District, has ‘collaborated’ with the NGO/NGO KSPPM and AMAN to fight for the customary/ulayat lands of their ancestors.

However, their struggle ‘founded’ or did not produce results when dealing with the state or government. This is because the customary lands being fought for do not have legality according to laws and regulations, only historical recognition.

 

Pinus Sitanggang said that 2009 was the first time he formed the Marsada Forest Farmers Group, Simataniari Village, Parlilitan District, Humbang Hasundutan (Humbahas) Regency, to fight for the ‘inherited’ land of his ancestors.

At that time, KSPPM and AMAN as NGOs provided assistance to defend customary land which was reportedly controlled by the company PT Toba Pulp Lestari (TPL), Tbk.

Pinus Sitanggang revealed that the issue of customary land was indeed the focus of KSPPM and AMAN at that time. Only by relying on evidence from the legacy of ex-plants from generation to generation, farmers and the community are invited to reject the presence of companies that manage Industrial Plantation Forests (HTI), in this case TPL, and end in conflict.

 

 

In fact, in 2016 at the direction of KSPPM and AMAN, Pinus Sitanggang and the farmer group he formed gave a number of files to the Ministry of Environment and Forestry (KLH), but the results have not been fulfilled.

Then in 2018 he was called back to receive a Letter of Ownership of customary land, it turned out to be just a lie to please the farmers.

We were once again summoned to Jakarta by the Ministry of Environment and Forestry to discuss resolving community conflicts regarding customary land. There were about 5 farming communities that were presented. But strangely, at the meeting no one discussed the issue of our village’s customary land.

 

On that basis, I finally decided to leave the KSPPM and AMAN assistance, because in my opinion it was just a waste of time, energy and money.

On his way, Pinus realized why the company was in his village. After studying the situation, it turns out that the company was founded after being licensed. “The company has a license, why do we blame it,” he admitted to the media crew recently.

According to him, the existence of KSPPM and AMAN should no longer make harmful provocations to farmers and the community, by bringing up land issues whose results will never be completed and completed.

 

 

“It’s enough for me and our community to feel this loss. Don’t let anyone else be instigated,” hoped Pinus Sitanggang, who also commented on the conflict between the people of Natumingka Village, Bobor District, Toba Regency, who had disagreements with the TPL company.

“Basically, our principle is that farmers can live their lives properly and correctly, not by means of violence and prolonged conflict,” said Pius Sitanggang.

According to him, the conflict between the community and the company will not occur, if it is not accompanied by certain parties who have interests.

 

Pinus advised, it is better to cooperate with the private sector, in an effort to improve the economy of farmers and the community, and not to violate the laws that have been set by the government.

“For the past two years, my farmer group and I have collaborated with TPL, assistance for chili seedlings, incense and agricultural support has always been provided by the company in the form of assistance and partners for the company’s agricultural program. All agricultural products belong to the farmers, and the company has never taken the produce, let alone taken land belonging to the community,” he said. ***

 

 

[OB1]

#TPL #TanahAdat #InfoBisnis


Referensi

Sejarah TPL

Daftar Perusahaan Pulp

Tentang Eucalyptus

Manfaat Eucalyptus

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *