Mendag Lutfi: Tingginya Harga Komoditas Dunia Peluang Bagi Petani Indonesia

Mendag Lutfi: Tingginya Harga Komoditas Dunia Peluang Bagi Petani Indonesia

Mendag Lutfi: Tingginya Harga Komoditas Dunia Peluang Bagi Petani Indonesia | OBROLANBISNIS.com — Dalam salah satu panel diskusi yang disponsori Channel News Asia (CNA) dari Singapura bertema “The Biggest Trade Deal in the World”, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengingatkan semua partisipan bahwa Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) benar-benar bisa menjadi solusi nyata bagi perekonomian dunia yang dilanda inflasi tinggi saat ini.

Kondisi tersebut diakibatkan khususnya oleh hambatan perdagangan dunia yang disebabkan proteksionisme dan perang dagang, serta tidak berfungsinya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagaimana mestinya.

“Ketika negara-negara yang sudah maju menerapkan standar ganda, WTO justru tidak berkutik,” tegas Mendag Lutfi.

Cukup mengejutkan panelis lainnya, Mendag Lutfi justru mengatakan, tingginya harga komoditas dunia saat ini adalah peluang bagi para petani di negara-negara berkembang besar seperti Indonesia, India, Brasil dan Tiongkok untuk menikmati keuntungan lebih.

“Ini ekuilibrium baru dalam perdagangan komoditas pangan dunia. Jangan dirusak dengan menyalahkan salah satu negara misalnya Tiongkok karena posisi dagang yang kurang menguntungkan. Bahaya kalau beberapa negara maju berkelompok untuk membenarkan standar ganda,” sebut Mendag Lutfi.

Hal yang dimaksud standar ganda oleh Mendag Lutfi adalah negara-negara yang sudah maju menyalahkan dan mengganggu perdagangan bebas dunia, ketika mereka kurang diuntungkan posisi dagangnya terhadap suatu negara tertentu, misalnya Tiongkok.

Padahal, dahulu ketika posisi dagang mereka diuntungkan sehingga petani di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang makmur, semua negara berkembang dipaksa membuka pasar mereka.
“Harus ada kebersamaan dan kesetaraan kesempatan dalam perdagangan bebas dunia,” kata Mendag Lutfi.

Bacaan Lainnya

 

 

INFO BISNISWapres: Tanpa Riset dan Inovasi, Indonesia akan Kehilangan Peluang Ekspor Produk Halal

Mendag Lutfi sempat berdebat cukup tegang dengan panelis lainnya yaitu CEO Suntory Holdings, salah satu produsen makanan dan minuman terbesar di dunia asal Jepang, Tak Miinami.

Sang CEO menyatakan pesimis dengan situasi perdagangan dunia saat ini, khususnya karena Tiongkok yang saat ini menutup pasarnya karena kebijakan Zero-Covid yang diterapkan Presiden China Xi Jin Ping. Sehingga Tiongkok, menurutnya, perlu dibatasi perannya dalam perdagangan dunia.

Mendag Lutfi menyayangkan pandangan tesebut apalagi mengingat Jepang sudah merasakan menjadi negara maju.

Menurut Mendag Lutfi, dunia harus mengakui fakta bahwa ketika Tiongkok mulai mendominasi perdagangan dunia, dampak positifnya dapat dirasakan seluruh masyarakat dunia dengan harga barang-barang yang semakin terjangkau.

“Kami di Indonesia sangat merasakan betul manfaatnya. Apalagi Tiongkok juga menjadi sumber utama transfer teknologi bagi negara-negara berkembang saat ini,” tegas Mendag Lutfi.

Padahal, lanjut Mendag Lutfi, Tiongkok baru bergabung dengan WTO di tahun 2001. Tapi manfaatnya jauh lebih terasa dibandingkan empat puluh tahun lebih sejak perdagangan dunia didominasi oleh kapitalisme Barat.

“Biarkan harga pangan tinggi saat ini menjadi sinyal agar petani dan peternak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia meningkatkan produksi, sehingga nantinya harga akan turun dengan sendirinya karena pasokan melimpah,” tegas Mendag Lutfi.

 

 

INFO BISNISDidukung Teknologi GE | Pembangkit Listrik Siklus Gabungan Paling Efisien di Sumatra Mulai Beroperasi

RCEP Peluang dan Katalis
Mendag Lutfi mengatakan, RCEP berpotensi memperbaiki tata niaga perdagangan dunia. Dari yang sebelumnya berbasis akumulasi dan konsentrasi kemakmuran, menuju tata niaga baru yang meratakan kemakmuran dan menciptakan kesejahteraan bersama.

Bila dievaluasi secara jujur, menurut Mendag Lutfi, kondisi tersebut adalah akibat dari kompetisi atau persaingan bebas yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi makro.

“Oleh karena itulah tata niaga dunia yang baru harus berbasis kolaborasi yang bermanfaat tanpa adanya diskriminasi atau bersifat inklusif. Bila seluruh dunia sibuk berkolaborasi maka tidak ada ruang untuk kompetisi yang sering kali berujung kepada konflik antarnegara,” tegas Mendag Lutfi.

RCEP sebagai perjanjian perdagangan bebas terbesar di dunia diikuti oleh kesepuluh negara ASEAN ditambah Australia, Selandia Baru, Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan. RCEP adalah kerja sama perekonomian pertama di dunia yang memiliki Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan sama-sama menjadi anggota.

“Perdagangan bebas tidak harus berdasarkan persaingan bebas. Melainkan bisa juga dicapai melalui kolaborasi yang nondiskriminatif atau inklusif. Sudah ada bukti keberhasilannya yaitu ASEAN,” tegas Mendag Lutfi.

Model komunitas ekonomi bersama yang inklusif dan kolaboratif sudah dibuktikan keberhasilannya oleh ASEAN yang saat ini merupakan perekonomian terbesar kelima di dunia dengan total produk domestik bruto (PDB) mencapai USD3,3 triliun dan total populasi masyarakatnya 630 juta orang.

Padahal, kesepuluh negara ASEAN memiliki latar belakang, bentuk pemerintahan, bahkan sistem perekonomian yang sangat beragam.

“Di belahan dunia lain justru menciptakan pertentangan bahkan perang dingin, di ASEAN kami merajutnya menjadi persatuan, kesejahteraan bersama, dan kolaborasi untuk berperan lebih bagi perekonomian dunia,” tambah Mendag Lutfi.

Sepuluh negara ASEAN terdiri atas satu kerajaan (absolute monarchy), dua pemerintahan junta militer, dua negara komunis, dan lima demokrasi dengan rasa lokal yang kuat.

“Lewat RCEP, kami berharap struktur dan model ASEAN yang terbukti relevan dan berhasil akan menjadi contoh yang diadopsi oleh banyak negara di seluruh dunia,” tegas Mendag Lutfi. ***

 

google translate

 

Trade Minister Lutfi: High World Commodity Prices Opportunity for Indonesian Farmers | OBROLANBISNIS.com — In one of the discussion panels sponsored by Channel News Asia (CNA) from Singapore with the theme “The Biggest Trade Deal in the World”, the Minister of Trade Muhammad Lutfi reminded all participants that the Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) can really become a real solution for the world economy hit by high inflation today.

This condition is caused in particular by the barriers to world trade caused by protectionism and trade wars, as well as the non-functioning of the World Trade Organization (WTO) as it should.

“When developed countries apply double standards, the WTO does not move,” said Trade Minister Lutfi.

Surprisingly enough for the other panelists, Trade Minister Lutfi actually said that the current high world commodity prices are an opportunity for farmers in large developing countries such as Indonesia, India, Brazil and China to enjoy more benefits.

“This is a new equilibrium in world food commodity trade. Do not destroy it by blaming one country, such as China, for an unfavorable trade position. It is dangerous for several developed countries to group together to justify double standards,” said Trade Minister Lutfi.

What is meant by a double standard by the Minister of Trade Lutfi is that advanced countries blame and interfere with world free trade, when they are not benefiting from their trade position against a certain country, for example China.

 

 

In fact, in the past when their trading position was advantageous so that farmers in the United States, Europe, and Japan prospered, all developing countries were forced to open their markets.

“There must be togetherness and equality of opportunity in world free trade,” said Trade Minister Lutfi.

The Trade Minister Lutfi had a tense debate with other panelists, namely the CEO of Suntory Holdings, one of the world’s largest food and beverage manufacturers from Japan, Tak Miinami.

The CEO expressed pessimism about the current world trade situation, especially because China is currently closing its markets due to the Zero-Covid policy implemented by Chinese President Xi Jin Ping. So China, according to him, needs to be limited in its role in world trade.

Trade Minister Lutfi regrets this view, especially considering that Japan has already felt like a developed country.

According to Trade Minister Lutfi, the world must acknowledge the fact that when China began to dominate world trade, its positive impact could be felt by the entire world community with increasingly affordable prices for goods.

“We in Indonesia really feel the benefits. Moreover, China is also the main source of technology transfer for developing countries today,” said Trade Minister Lutfi.

In fact, continued Trade Minister Lutfi, China only joined the WTO in 2001. But the benefits are far more pronounced than the more than forty years since world trade was dominated by Western capitalism.

 

 

“Let the current high food prices be a signal for farmers and ranchers in developing countries including Indonesia to increase production, so that later prices will fall automatically due to abundant supply,” said Trade Minister Lutfi.

RCEP Opportunity and Catalyst
Trade Minister Lutfi said RCEP has the potential to improve the world trade system. From what was previously based on the accumulation and concentration of prosperity, towards a new trade system that equalizes prosperity and creates shared prosperity.

If evaluated honestly, according to Trade Minister Lutfi, this condition is the result of competition or free competition that prioritizes macroeconomic growth.

“Therefore, the new world trade system must be based on beneficial collaboration without discrimination or being inclusive. If the whole world is busy collaborating, then there is no room for competition which often leads to conflicts between countries,” said Trade Minister Lutfi.

RCEP is the largest free trade agreement in the world, followed by the ten ASEAN countries plus Australia, New Zealand, China, Japan and South Korea. RCEP is the first economic cooperation in the world that has China, Japan and South Korea both as members.

“Free trade does not have to be based on free competition. But it can also be achieved through non-discriminatory or inclusive collaboration. There is already evidence of its success, namely ASEAN,” said Trade Minister Lutfi.

The success of ASEAN, which is currently the fifth largest economy in the world, has proven its success with a total gross domestic product (GDP) of USD3.3 trillion and a total population of 630 million people.

In fact, the ten ASEAN countries have very diverse backgrounds, forms of government, and even economic systems.

In fact, the ten ASEAN countries have very diverse backgrounds, forms of government, and even economic systems.

“In other parts of the world, it creates contradictions and even cold wars, in ASEAN we knit it into unity, common prosperity, and collaboration to play a greater role in the world economy,” added Trade Minister Lutfi.

The ten ASEAN countries consist of an absolute monarchy, two military junta governments, two communist countries, and five democracies with a strong local sense.

“Through RCEP, we hope that the ASEAN structure and model that has proven to be relevant and successful will become an example to be adopted by many countries around the world,” said Trade Minister Lutfi. ***

 



[rel/OB2]

#Kemendag
#Petani
#InfoBisnis

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.