Isi Konten:
- TPL di Serang Masyarakat Lamtoras di Dalam Konsesi Sendiri
- Tidak Pernah Ada Tanah Adat di Simalungun
Perselisihan TPL Dengan Masyarakat Lamtoras Soal Tanah Adat di Simalungun Ternyata Berada di Kawasan HTI Perusahaan
OBROLANBISNIS.com – Perselisihan karyawan PT. Toba Pulp Lestari Tbk (TPL), dan masyarakat penuntut tanah adat Lamtoras di Simalungun (22/9/2025) yang lalu bukanlah kali pertama terjadi.
TPL di Serang Masyarakat Lamtoras di Dalam Konsesi Sendiri
Sejumlah perselisihan yang hingga kini tidak pernah terselesaikan diantara keduanya patut perhatian sejumlah pihak. Terutama pemerintah selaku pemberi izin konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) TPL.
Menanggapi hal tersebut pihak TPL membuka diri dan siap berdialog dengan masyarakat yang menuntut tanah adat.
Demikian diungkapkan Manager Corporate Communication TPL, Salomo Sitohang, ketika berdialog dengan sejumlah media, Selasa (7/8/2025).
Dalam pertemuan tersebut pihak TPL menunjukkan sejumlah bukti dari peta lokasi atau konsesi lahan hingga izin penggunaan lahan dari yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk diusahai perseroan.
“Perselisihan ini sudah lama terjadi, bahkan masyarakat sudah menguasai HTI perusahaan selama lebih kurang 5 tahun lalu.
Peristiwa kemarin terjadi di HTI kami kawasan sektor Aek Nauli dan berdekatan dengan Desa Sipolha, bukan desa Sihaporas yang didiami oleh Lamtoras”, tegas Salomo.
Dengan fakta yang ada Salomo mengatakan, berdasarkan peta konsesi yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2023, lokasi bentrok tersebut justru berjarak sekitar 5,4 km dari Desa Sihaporas, desa dimana kelompok Lamtoras bermukim.
Salomo menjelaskan, pada saat kejadian pihak perusahaan akan melakukan pemanenan kayu Eucaliptus yang menjadi bahan baku pulp di wilayah konsesi perusahaan, yang ditandai dengan kode B483.
Namun kedatangan para pekerja dengan sejumlah alat berat perusahaan, membuat kelompok Lamtoras merasa terganggu dan berujung pada perselisihan.
“Kami dituding menyerang kelompok Lamtoras, kami ini didatangi di wilayah konsesi kami dan di lokasi itu berdekatan dengan Kantor Resert & Development Eucalyptus Sektor Aek Nauli.
Bukan sebaliknya seperti yang viral dan hoax kami yang menyerang. Mana mungkin kami membangun kantor di wilayah yang bukan konsesi kami, artinya kami yang didatangi pihak Lamtoras di wilayah HTI kami,” ungkap Salomo.
Menurutnya hubungan TPL dengan masyarakat di Desa Sihaporas di 3 dusun sangat baik dan telah bermitra dengan mereka.
Sedangkan, 2 dusun lainnya yakni Dusun Aek Batu yang berjumlah sekitar 52 KK dan Dusun Lumban Ambarita yang berjumlah sekitar 31 KK belum bersedia untuk bermitra.
“Kelompok yang mengatasnamakan Masyarakat Adat Lamtoras inilah berasal dari dua dusun ini. Mereka mengklaim tanah adat hingga ke wilayah konsesi yang bahkan sudah masuk secara administrasi ke wilayah Desa lain”, ungkap Salomo.
Salomo mengatakan pihak TPL tidak menginginkan terjadi perselisihan dengan masyarakat di seputar wilayah konsesi.
Wilayah konsesi yang diperoleh dari pemerintah tercantum dalam SK Menteri Kehutanan No 493/Kpts-II/1992 Jo SK 1487/Menlhk/Setjen/HPL.0/12/2021.
“TPL itu mengusahai (Menyewa) lahan yang diberikan oleh pemerintah untuk dijadikan lahan konsesi kami. Untuk urusan klaim tanah apapun bentuknya ya jangan ke TPL la, kami aja menyewa.
Lamtoras datang mengklaim lahan adat dan melarang kami menanaminya dengan tanaman industri, itu namanya salah tempat. Karena tanah itu milik negara yang diizinkan untuk kami kelola,” pungkasnya.
Tidak Pernah Ada Tanah Adat di Simalungun
Seperti yang diketahui salah paham antara kelompok masyarakat Lamtoras dari Desa Sihaporas menjadi pembicaraan utama pada akhir September 2025 lalu.
Hal ini juga memicu reaksi sejumlah cendikiawan dan tokoh adat Simalungun yang menyebut bahwa tidak ada istilah tanah adat di kabupaten Simalungun sejak kemerdekan.
Persoalan ini sebelumnya juga sudah sampai hingga ke Jakarta, dimana masyarakat mengadukan TPL ke Komnas HAM.
Namun Komnas HAM dalam suratnya tertanggal 19 Maret 2025 menyimpulkan bahwa permasalahan yang diadukan oleh masyarakat tersebut merupakan sengketa lahan.
Komnas HAM menyampaikan hal tersebut karena sejauh ini belum ada pengakuan MHA dan penetapan hutan adat dari Pemerintah yang diberikan kepada pengadu.
Terakhir kata Salomo, pihaknya sangat terbuka terhadap lapisan masyarakat mana pun untuk duduk bersama dalam membicarakan persoalan yang muncul.
Akan tetapi, ia berharap pembicaraan tersebut hanya melibatkan mereka dan pihak masyarakat.
(May)




















