Isi Konten:
- Faktor Harga Tembaga Naik
- Percepatan Pembangunan Smelter
- Instrumen Kebijakan Iklim Investasi
Harga Tembaga Tinggi Saatnya Pemerintah Genjot Sektor Hilir
OBROLANBISNIS.com — Melambungnya harga tembaga global dinilai dapat menjadi momentum strategis bagi Indonesia untuk memperkuat posisi dalam rantai pasok global.
Faktor Harga Tembaga Naik
Berdasarkan London Metal Exchange, Kamis (16/10/2025), harga tembaga kontrak berjangka naik 0,6% menjadi US$10.641 per ton. Bahkan, pada pekan lalu, harga tembaga sempat menyentuh level US$10.715 per ton.
Dilansir dalam laman Bisnis.com, angka ini hampir mendekati rekor tertinggi sepanjang masa sebesar US$11.104,50 pada Mei 2024.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) Bisman Bhaktiar menilai salah satu faktor pendorong kenaikan harga tembaga dunia saat ini adalah menurunnya pasokan akibat tidak beroperasinya tambang Grasberg milik PT Freeport Indonesia (PTFI).
“Salah satu sebab harga tembaga terus naik juga ada faktor tidak beroperasinya tambang Grasberg milik Freeport Indonesia sehingga mengurangi produksi pasokan global,” ujar Bisman kepada Bisnis.com.
Dia menilai kondisi tersebut seharusnya menjadi momentum strategis bagi Indonesia untuk memperkuat posisi dalam rantai pasok global.
Pemerintah, kata dia, perlu segera mempercepat pemulihan tambang Grasberg agar kembali beroperasi dan berproduksi optimal.
Selain itu, percepatan pembangunan fasilitas pemurnian (smelter) dan pengembangan industri berbasis tembaga dinilai menjadi langkah krusial untuk memanfaatkan momentum harga yang tinggi.
“Ini saat yang tepat untuk mempercepat hilirisasi tembaga, percepatan pembangunan smelter, dan membangun industri turunan berbasis tembaga,” imbuhnya.
Tak hanya itu, pemerintah juga diminta untuk mendorong eksplorasi baru di wilayah-wilayah potensial agar pasokan tidak semata bergantung pada Freeport.
Di sisi lain, Bisman menegaskan, konsistensi kebijakan menjadi faktor mendasar untuk mendorong hilirisasi tembaga di Tanah Air.
Dia mengingatkan agar pemerintah tidak lagi mengubah-ubah aturan, terutama terkait larangan ekspor konsentrat dan mineral mentah. “Kebijakan harus konsisten.
Percepatan Pembangunan Smelter
Pemerintah perlu mendorong percepatan pembangunan smelter dengan pengawasan ketat, memberikan kemudahan dan percepatan perizinan, bahkan insentif jika diperlukan,” ujarnya.
Dia juga menyarankan agar pemerintah memfasilitasi kerja sama antara industri hulu dan hilir, sekaligus membuka pasar baru untuk produk berbasis tembaga nasional.
Adapun, menanggapi isu serapan tembaga di dalam negeri yang masih terbatas, Bisman mengakui bahwa pasar domestik saat ini baru menyerap sekitar 40% dari total produksi.
Namun, tren tersebut disebut terus meningkat seiring tumbuhnya industri berbasis tembaga di Indonesia. “Pasar domestik memang masih relatif kecil, tetapi potensinya sangat besar.
Karena itu, perlu dibangun ekosistem industri hilir yang kuat, dari pengolahan hingga produksi berbasis tembaga,” jelasnya.
Bisman menilai apabila strategi hilirisasi dijalankan secara konsisten dengan dukungan regulasi dan infrastruktur yang tepat, Indonesia berpeluang besar menjadi pemain penting dalam rantai pasok global tembaga di masa depan.
Pemerintah Perlu Gerak Cepat Sementara itu, Ekonom Senior di Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Muhammad Ishak Razak menilai pemerintah perlu mengambil langkah cepat dan strategis untuk memanfaatkan momentum tingginya harga tembaga global.
Hal itu bisa dilakukan dengan memperkuat hilirisasi, mendorong investasi sektor hilir, serta mempercepat penyelesaian persoalan di sektor hulu.
Dia menuturkan, lonjakan harga tembaga dunia seharusnya menjadi momentum bagi Indonesia untuk mempertegas arah kebijakan nilai tambah mineral, bukan sekadar mengejar peningkatan ekspor mineral mentah.
“Ada beberapa kebijakan yang bisa ditempuh pemerintah, seperti mempercepat ekspor tembaga olahan dari stok Freeport atau non-Freeport seperti Batu Hijau.
Namun, tetap berpatokan pada kewajiban hilirisasi,” ujar Ishak. Menurutnya, langkah itu penting agar Indonesia tidak sekadar mengambil keuntungan sesaat dari kenaikan harga, melainkan juga memperkuat fondasi industri pengolahan tembaga di dalam negeri.
Ishak menilai kenaikan harga komoditas tembaga dapat dimanfaatkan untuk menarik investasi baru di sektor hilir, khususnya industri katoda tembaga yang menjadi bahan baku utama kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
“Kenaikan harga ini menjadi momentum untuk mendorong peningkatan investasi di sektor hilir, terutama katoda tembaga untuk kendaraan listrik, dengan memberikan insentif yang relevan,” ujarnya.
Instrumen Kebijakan Iklim Investasi
Dia menambahkan bahwa pemerintah perlu menyiapkan instrumen kebijakan yang mampu menciptakan iklim investasi yang kompetitif, termasuk kemudahan perizinan, keringanan pajak, hingga dukungan infrastruktur industri.
Di samping itu, Ishak menyoroti hambatan produksi yang terjadi di tambang Grasberg milik PTFI. Kondisi tersebut, kata dia, dapat dijadikan momentum untuk memperkuat posisi negara melalui holding BUMN pertambangan, MIND ID.
“Terkait hambatan produksi di Freeport, ini menjadi momentum untuk membahas peran MIND ID dalam mempercepat negosiasi kepemilikan saham dan mendorong kontrol pemegang saham mayoritas yang lebih besar,” tuturnya.
Selain kepemilikan, Ishak menilai penting bagi MIND ID untuk memastikan adanya transfer teknologi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) lokal.
Hal ini agar Indonesia tidak hanya menjadi pemilik saham nominal, tetapi juga pengendali efektif di industri strategis tersebut.
“Dengan penguatan peran MIND ID dan konsistensi kebijakan hilirisasi, Indonesia bisa lebih optimal memanfaatkan momentum harga tembaga yang tinggi untuk memperkuat daya saing industri nasional,” kata Ishak.
(Bc/May)




















