EKONOMI kreatif dapat menghasilkan karya atau produk yang memiliki keunggulan. Karena itu, ekonomi kreatif perlu landasan hukum.
Sektor ekonomi masuk domain ekonomi kreatif, antara lain desain, arsitektur, media konten, fashion, perfilman, seni pertunjukan, seni rupa, industri musik, dan kuliner.
Menurut tim ahli ekonomi DPD RI, Ipang Wahid, dalam mendukung tumbuhnya ekonomi kreatif di tanah air dibutuhkan Regulasi. “Regulasi ini sangatlah penting untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan ekonomi kreatif di Indonesia,” katanya, dalam uji sahih RUU Ekonomi Kreatif di Biro Rektor USU, (13/10/2015).
Ia menjabarkan, ekonomi kreatif ada berbasis seni dan budaya, ada juga yang berbasis desain dan media. Menggerakkan ekonomi kreatif cukup dengan cara connecting, collaboration dan commerce/celebration.
“Connecting yaitu perpaduan antara akademis, bisnis, pemerintah dan masyarakat. Collaboration melibatkan seni desain berpadu dengan proses industri kreatif. Sedangkan commerce/celebration menyangkut produk, event, dan pasar,” ucapnya.
Ia menuturkan, ekosistem industri kreatif implementasinya harus terkait langsung terhadap kebijakan.
Wahid menambahkan, ekonomi kreatif adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dengan menggunakan kreatifitasnya yang menghasilkan karya kreatif dan mendapatkan nilai ekonomis.
“Ekonomi kreatif sebagai soft power melibatkan inteletualitas, ekonomi dan budaya,” sebutnya.
Bagaimana mengoptimalkan kreatifitas sehingga nilai ekonomisnya tinggi. “Kadang-kadang kita lupa bahwa sebuah brand bisa memberikan dampak ekonomi yang luar biasa,” ujarnya.
Menurutnya, ekonomi kreatif berhubungan erat dengan SDM kreatif, ini penting karena kualitas dan kuantitas SDM dalam subsektor ini masih sangat terbatas.
“Menciptakan pola pikir dan budaya kreatif itu kaitannya dengan pendidikan. Ilmu, inovasi dan budaya bila berjalan beriringan maka hasilnya akan luar biasa,” jelasnya. (OB1)