BeTor Menjadi GoCak, Mengapa Tidak?

Dari ringkasan sejarah itu benarlah bila ‘beca Medan’ yang khas dan dapat disebut trade-mark kota Medan dan atas dasar itu pula layak memperoleh perlindungan!

Pada suatu era, pemerintah kota memberlakukan pembatasan ruang gerak beca dayung, yakni hanya boleh beroperasi di pinggiran kota. Belakangan beca bermotor-pun tidak diizinkan memasuki jalan-jalan protokol seperti Jalan Sudirman. Tujuannya untuk mengendalikan kemacetan lalulintas dan penumpukan (kemacetan).

Bacaan Lainnya

Maklum –harus diakui– memang banyak diantara abang beca kurang (mengerti) disiplin berlalulintas! Ini terjadi –karena bila harus jujur lagi– para abang beca tergolong masyarakat menengah-ke bawah dan karena itu kurang memperoleh bimbingan dan perhatian pemerintah lokal.

Tidak berlebihan bila ada yang menyimpulkan para abang beca masuk kelompok yang terabaikan dan hanya ‘disanjung’ dan ‘diperhatikan’ pada saat-saat tertentu saja, misalnya menjelang pemilihan umum oleh para calon legislatif dan kandidat kepala pemerintahan. Mereka hanya di-terge (diingat) saat ingin mengeksploitasi suaranya dalam sistem pemilihan one man one vote! Tragis, memang.

Seiring kemajuan zaman, moda angkutan berbasis online yang datang terakhir, memang sudah jadi fenomena. Sebelum hadir di Medan, sudah lebih dulu ‘mewabah’ di ibukota Jakarta dan beberapa kota lain (Surabaya, Bandung).

Seperti halnya di Medan kehadirannya juga memperoleh resistensi (penolakan) dari praktisi angkutan tradisional. Aksi penolakan itu sebenarnya sangat rasional. Faktornya: sesuatu yang baru mengancam kemapanan tradisional. Kehadiran fenomena online (internet) pada kehidupan kini juga sudah merupakan keniscayaan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *